Setiap orang datang ke ruang terapi dengan alasan yang berbeda-beda. Ada yang ingin mengatasi kecemasan, ada yang mencari ketenangan, dan ada pula yang ingin mengubah kebiasaan tertentu dalam hidupnya. Namun, seringkali di balik satu keluhan yang tampak sederhana, tersimpan kisah panjang tentang emosi, pengalaman, dan luka batin yang belum selesai.
Cerita berikut adalah kisah nyata dari seorang klien berinisial G, yang datang dengan tujuan awal menurunkan berat badan, namun akhirnya menemukan akar emosional di balik kebiasaan makannya.
Awalnya Hanya Ingin Diet
Klien berinisial G, saat ini berusia 28 tahun. Ia datang ke tempat terapi dengan tujuan awal untuk mengontrol pola makan dan menjalani program diet, karena berat badannya sudah hampir mencapai 105 kg. Namun setelah sesi konsultasi di ruang terapi, terungkap bahwa masalah utamanya bukan hanya pola makan, melainkan persoalan emosional yang sudah berlangsung sejak ia masih kecil.
Latar Belakang Keluarga
G tumbuh dalam keluarga yang tergolong berada secara ekonomi dan pendidikan. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai guru. Namun dibalik itu, hubungannya dengan sang ayah bisa dikatakan sangat buruk. G menggambarkan ayahnya sebagai sosok yang narsistik dan otoriter, selalu merasa benar, dan mendidik anak-anaknya dengan cara yang keras. Sebagaimana ayahnya dulu juga dididik oleh orang tuanya yang juga otoriter.

Sejak kecil, G hidup dalam tekanan untuk selalu menjadi anak yang berprestasi dan juga juara. Ia merasa tidak punya ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Di sisi lain, sang ibu masih berusaha mendampinginya dan mengajarkan kesabaran, tetapi G tetap tidak pernah berani mengungkapkan perasaan dan keinginannya kepada sang ayah. Akibatnya, konflik batin terus berkecamuk dan menumpuk di dalam dirinya hingga ia beranjak dewasa.
Baca juga: Trauma Masa Kecil yang Terbawa Ke Pernikahan
Masa Remaja dan Awal Konflik
Masalah mulai terasa berat ketika G menginjak masa SMA, masa di mana ia mulai mencari jati diri. Orang tuanya menuntut agar ia menjadi seorang dokter. Hari-harinya dipenuhi dengan belajar dan les akademis untuk memenuhi ambisi tersebut. Jauh di dalam hatinya, G memberontak. Ia tidak ingin menjadi dokter, namun tuntutan itu terlalu kuat berkuasa akan dirinya.
Saat G pada akhirnya tidak diterima di fakultas kedokteran, orang tuanya, terutama sang ayah, sangat marah dan kecewa. Dengan berat hati, G menuruti saran mereka untuk melanjutkan kuliah di jurusan yang masih bergerak di bidang kesehatan. Namun sejak saat itu emosinya sering tidak terkontrol dan ia mulai melampiaskan stres melalui makan berlebihan. Makan menjadi cara untuk mengalihkan perasaan tidak nyaman dan amarah yang terus ia pendam.
Hubungan dengan Ayah
Selama masa kuliah, G kerap diliputi perasaan marah dan kecewa terhadap sang ayah. Ia bahkan mengaku bahwa ketika ayahnya meninggal, tidak ada rasa sedih barang setitik pun. Yang ia rasakan justru kelegaan, seolah penderitaannya selama ini telah berakhir.

“Aku bersyukur, penderitaanku sudah selesai hari ini,” begitu pengakuannya saat terapi.
Namun ternyata setelah ayahnya meninggal, kondisi emosional G bukannya membaik, justru menjadi semakin tidak stabil.
Baca juga: Bahaya Punya Perasaan Benci Pada Orang Lain
Kondisi Ibu Setelah Ayah Meninggal
Sang ibu yang ditinggalkan juga mengalami penurunan kesehatan dan merasa sangat bersalah. Ibu G sering menyalahkan dirinya sendiri karena merasa gagal membela anaknya dari didikan sang ayah. Ia juga kehilangan arah, karena selama ini sang ayahlah yang selalu mengatur segalanya dalam keluarga.
Rasa bersalah ibunya membuat hubungan antara G dan sang ibu menjadi semakin tegang. G ikut menyalahkan ibunya, merasa kecewa karena sang ibu tidak melindunginya di masa lalu.

Sebaliknya, ibunya hanya bisa pasrah dan bahkan bertanya kepada G, “Apa yang harus Ibu lakukan?”
Kondisi ini membuat G bingung, karena ia merasa peran antara anak dan orang tua seolah terbalik.
Proses Terapi
Seluruh gejolak inilah yang kemudian dibawa G ke ruang terapi. Proses terapi dimulai dengan menelusuri akar permasalahan emosional yang selama ini tersimpan rapat, lalu berlanjut ke proses pemaafan dan pendamaian diri. Dalam beberapa sesi, G mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan positif menjadi lebih tenang, lebih sadar akan dirinya, dan mulai memahami apa yang sebenarnya ia rasakan.

Setelah akar permasalahan diselesaikan, maka dilakukan juga program diet untuk membantu mengatur pola makan yang selama ini berantakan. Hingga tahap terakhir, G tampak mulai berproses menuju keseimbangan baru dalam hidupnya. Meski perjalanannya belum sepenuhnya selesai, ada harapan yang tumbuh. Harapan bahwa setiap langkah kecil menuju pemulihan tetap berarti dan layak untuk dirayakan.
Co-Writer: Shofiyah R.


Tinggalkan Balasan