Seorang anak perempuan yang dibesarkan di lingkungan penuh kekerasan, kelak akan tumbuh dan menjadi orangtua yang juga membesarkan anaknya dengan pola asuh penuh kekerasan pula

Saat Amarah Menjadi Warisan: Luka Masa Kecil yang Terbawa Hingga Menjadi Ibu

Kekerasan dalam rumah tangga tidak selalu muncul murni dari niat jahat sang pelaku. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh luka masa kecil yang belum sembuh. Kisah SK, seorang wanita berusia 31 tahun yang datang ke Griya Sehat Hipnoterapi karena sulit mengendalikan amarah terhadap suami dan anaknya, menjadi contoh nyata bagaimana pola asuh penuh kekerasan dapat terwariskan tanpa disadari.

Luka Lama yang Tak Pernah Sembuh

SK datang ke Griya Sehat Hipnoterapi dengan keluhan mudah emosi, mudah tersinggung, dan sering meluapkan kemarahannya secara berlebihan. Ia menyadari ada sesuatu yang salah dalam dirinya. Setiap kali emosi tersebut muncul, dirinya seperti kehilangan kendali. SK kerap memukul, menendang, menampar, berteriak, bahkan memaki suami dan anaknya atas kesalahan-kesalahan kecil.

Bagi SK, amarah itu datang seperti gelombang besar yang tak bisa dibendung. Ia tahu seharusnya ia menyayangi keluarga kecilnya, bukan menyakiti mereka. Namun di sisi lain, ada bagian dalam dirinya yang seolah terbiasa melampiaskan emosi dengan kekerasan. Dua kali ia menemui psikolog, dan dari hasil konsultasi itu SK didiagnosa menderita PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stres pascatrauma.

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya?

Masa Kecil Penuh Kekerasan

Seorang anak perempuan menerima pola asuh penuh kekerasan sejak kecil oleh orangtuanya sendiri, sehingga ia merasa hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang normal terjadi di dalam rumah
Sumber: Freepik

Luka batin SK ternyata berakar dari masa kecilnya. Sejak masih TK, ia hidup dalam lingkungan yang penuh pertengkaran antara ayah dan ibunya. Setiap hari rumah dipenuhi teriakan, caci maki, dan bentakan. Tidak jarang, kedua orang tuanya saling memukul dan menendang di depan matanya.

Sebagai anak kecil, SK tak hanya menjadi saksi, tapi juga korban. Ia kerap menerima kekerasan fisik dan verbal dari kedua orangtuanya. Pengalaman itu berlangsung sejak ia berusia sekitar empat tahun hingga masa SMP. Saat SMA, sebuah insiden kembali membekas. SK ditampar oleh ayahnya dan sejak saat itu hubungan mereka semakin renggang.

Memasuki masa kuliah, SK tumbuh menjadi pribadi yang mudah marah dan tersinggung. Setiap kali ada hal kecil yang tidak sesuai keinginannya, emosi itu segera meledak.

Baca juga: Trauma Masa Kecil yang Terbawa Ke Pernikahan

Ketika Pola Lama Terulang

Setelah lulus kuliah dan bekerja, SK bertemu dengan pria yang kini menjadi suaminya. Mereka menikah pada tahun 2019 dan dikaruniai seorang anak pada tahun 2020. Akan tetapi, satu tahun pertama pernikahan mereka lalui dengan penuh pertengkaran dan amarah. Sikap SK yang temperamental membuat hubungan rumah tangga mereka menjadi tegang. Kata-kata kasar, bentakan, bahkan tindakan fisik sering kali keluar begitu saja tanpa bisa ditahan.

Seorang anak menjadi korban kekerasan dari sang ibu, karena sang ibu mewarisi pola asuh penuh kekerasan dari orangtuanya, sehingga pola asuh tersebut menurun pada dirinya dan juga anaknya. Walaupun ia tahu itu salah, sang ibu tidak bisa menahan diri dan langsung meledak bahkan saat anak dan suaminya hanya melakukan kesalahan kecil
Sumber: Freepik

Anaknya yang masih kecil pun tak luput dari kemarahan dan emosi SK yang cenderung meledak-ledak. Ketika sang anak melakukan kesalahan sepele, SK melampiaskan kemarahannya dengan makian dan pukulan. Persis seperti yang dulu SK terima dari orang tuanya.

Sang suami, meski juga kerap menjadi korban, memilih tidak membalas. Ia tahu, membalas dengan kekerasan hanya akan menimbulkan luka baru. Di balik kesabarannya, tersimpan rasa kasihan terhadap istrinya jika semisal ia membalas dengan cara memukul dan menendang pula.

Yang menarik, SK adalah seorang perempuan dengan latar belakang pendidikan tinggi. Ia telah menempuh studi hingga jenjang S2 dan bekerja sebagai guru. Namun dari kisahnya, kita belajar bahwa pendidikan tinggi tidak selalu menjamin seseorang mampu bersikap tenang dan bijak. Pikiran dan tubuhnya tidak lagi merespons secara sehat. Trauma lama masih memegang kendali atas reaksinya di masa kini meski ia paham secara rasional bahwa tindakan yang ia lakukan salah.

Menemukan Akar Masalah dan Menyembuhkan Luka Lama

Di Griya Sehat Hipnoterapi, SK dibimbing masuk ke alam bawah sadarnya untuk menemukan akar dari emosinya yang tak terkendali. Melalui proses terapi, ditemukan bahwa sumber dari kemarahan itu adalah inner child yang masih menyimpan luka dan rasa takut mendalam sejak kecil.

Dengan teknik Forgiveness Therapy, SK diajak untuk memaafkan orang-orang yang telah melukainya, termasuk kedua orangtuanya. Proses ini tidak mudah, tetapi menjadi langkah penting untuk mendamaikan dirinya dengan masa lalu yang sudah terjadi dan tidak dapat diubah lagi.

Selanjutnya, dilakukan terapi dua ego, membantu bagian dari dirinya yang masih ingin melampiaskan emosi secara berlebihan agar bisa berdamai dan sepakat mendukung perubahan positif yang sedang dijalani. Perlahan, SK mulai belajar kembali menjadi pribadi yang tenang, penuh kasih, dan mampu mengendalikan diri.

Baca juga: Ada Hati yang Belum Sembuh Dibalik Nafsu Makan yang Tak Terkendali

Harapan Baru untuk SK dan Keluarganya

Setelah terapi, sang ibu perlahan pulih. Luka masa kecil dari perlakuan orangtuanya sudah sembuh, sehingga ia tidak lagi merasakan dorongan untuk berbuat kasar pada suami dan juga anaknya. Pola asuh penuh kekerasan itu perlahan ia putus agar tidak dilanjutkan kepada anaknya.
Foto oleh Vidal Balielo Jr.: https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-keluarga-berjalan-di-taman-2880897/

Perjalanan SK belum selesai, namun ia sudah memulai satu langkah penting, yaitu menyembuhkan dirinya sendiri agar tidak lagi mewariskan luka serupa kepada anaknya.
Dengan kesadaran baru dan proses terapi yang tepat, SK kini sedang menapaki jalan pemulihan. SK belajar untuk mencintai tanpa amarah dan membangun rumah tangga yang hangat, bukan seperti rumah masa kecilnya yang penuh pertengkaran.

Co-Writer: Shofiyah R.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *